KEMBALIWARGA MUNA DIHEBOHKAN DENGAN ADANYA ULAR PITON YANG MENCOBA MENYERANG ORANG. BERUNTUNG ULAR PITON BERHASIL DILUMPUHKAN.#piton #melata #geger #warga #
Prolog Nama La Ode Wuna bagi masyarakat Maluku khususnya di Pulau Seram, Pulau Manipa, Pulau Sembilan dan sekitarnya sudah tidak asing lagi. Bahkan ada sebagian dari komunitas suku di Maluku Utara menganggap mereka adalah bagian dari keturunan tokoh yang kondisi fisiknya digambarkan setengah bagian atas dari kepala sampai pinggang bewujud manusia, sedangkan sebagiannya lagi dari pinggang kebawah berwujud ular tersebut. Karena bentuk tubuhnya yang didiskripsikan tidak normal itu maka tidak jarang dikatakan bahwa La Ode Wuna adalah sosok mitologi yang absurd dan sulit di cernah dengan logika. Biarpun dianggap sebagai tokoh mitologi, Cerita cerita mengenai asal usul dan sepak terjang La Ode Wuna dikalangan masyarakat Maluku terekam rapi dalam KAPATA- KAPATA. Seperti yang diungkap oleh Geger Riyanto dalam artikelnya yang berjudul “ Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula “ yang dimuat dalam Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 tahun 2016. Dalam artikelnya tersebut, Geger Riyanti menulis bahwa Ada sebuah lukisan di satu desa bernama Pasahari yang menggambarkan Perjanjian Supamaraina. Perjanjian ini menceritakan mengakhiri zaman peperangan di antara kelompok-kelompok dan memungkinkan terwujudnya Seram sebagaimana ia ada sekarang. Pengungkapan Perjanjinan Supamaraina tersebut mengemuka ketika orang-orang diKecamatan Wahai memperdebatkan matarumah atau marga mana yang berhak ikut serta dalampemilihan raja mendatang. Kala perwakilan salah satu marga menceritakan silsilah mereka untukmemperlihatkan leluhurnya mempunyai peranan yang patut dikenang dalam sejarah Wahai, nama La Ode Wuna tercetus . Dia dikatakan sebagai sosok yang memerintah Manusela dan mendirikan Kerajaan Alifuru. Lukisan perjanjian Supamaraina di Desa Pasahari ini meninggalkan kesan yang sangat kuat bahwa sosok La Ode Wuna tergambar di antara leluhur-leluhur orang-orang Seram dan bukanlah sebagai tokoh mitologi yang tidak bisa diterima secara logika tetapi tokoh nyata yang di ceritakan sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu mitos untuk tujuan meneguhkan kewibawaannya dan kekuasaan tokoh yang diceritakan. Pada tahun 2008, untuk pertama kalinya penulis mendapatkan cerita tentang La Ode Wuna di Kepulauan Maluku. Adalah Willy Manusela yang mengaku sebagai putera Pulau Seram menulis dalam blog pribadinya di tentang sosok La Ode Wuna. Dalam tulisan yang diberi judul “ Sejarah Sahulau itu “ dikatakan bahwa Sahulau adalah sebuah kerajaan kuno yang terdapat di wilayah pulau Seram Maluku. Wilayah Sahulau kini merupakan Desa di wilayah pesisir, sedangkan kerajaan tua Negeri Lama yang terletak di puncang gunung kini tidak ada lagi. Sahulau merupakan kelanjutan dari negeri NUNUSAKU sebuah “Negeri yang hilang”. Nunusaku sendiri di percaya masyarakat Maluku sebagai sebuah kerajaan yang menurunkan suku-suku di wilayah Maluku khususnya di Pulau Seram . Nunusaku inilah yang menjadi cikal bakal Alifuru dan menurunkan suku-suku di Maluku khususnya di Pulau Seram. Kerajaan Sahulau salah satu kerajaan Islam yang besar yang ditangani oleh suku bangsa ALUNE dan WEMALE. Kerajaan ini runtuh dan dikuasai oleh Belanda pada 24 Februari 1858 dan selanjutnya masyarakat dipindahkan kedaerah pesisir. Namun masyarakat suku Samasuru tidak mengakui bahwa Sahulau sebagai kelanjutan dari Nunusaku karena Sahulau di pimpin oleh seorang sultan yang bernama La Ode Wuna La Ale. Dalam trdisi Kapata, La Ode Wuna dikisahkan sebagai seorang sakti, namun memiliki tubuh yang tidak sempurna, yakni selain kulitnya bersisik ia juga memiliki tubuh bagaian pinggang ke bawah yang berwujud ular. La Ode Muna sendiri menurut sejarah maupun tutur masyarakat, adalah seorang putra dari kerajaan Muna. Karena kondisi fisiknya itulah yang menjai alasan mengapa masyarakat suku Samasuru menolak eksistensi kerajaan Sahulau sebagai kelanjuta dari Nunusaku. Beberapa tahun kemudian, penulis mendapat pesan melalui inbox media Facebook dari seorang guru di Bekasi yang bernama Alle Rau Pele. Di mengaku sebagai keturunan dari La Ode Wuna yang berasal dari Pulau Manipa. Menurut ceritanya yang dikirim melalui inbox tersebut, sebelum ke Pulau Sembilan kemudian ke Tanjung Sial dan akhirnya ke Pulau Seram, La Ode Wuna terlebih dahulu singga dan menetap di Pulau Manipa. Bahkan di Pulau Manipa ini La Ode Wuna sempat menikahi Puteri Raja yang bernama Warane atau Warang. Kehadiran La Ode Wuna yang memiliki fisik yang tidak sempurna yakni kulitnya bersisik dan sebagian tubuhnya dari pinggang ke bawah yang berwujud ular tidak di senangi oleh penduduk Pulau Manipa. Olehnya itu mereka berusaha untuk mengusirnya. Namun dengan kesaktiannya, upaya untuk mengusir La Ode Wuna itu tidak berhasil. Bahkan akibat upaya pengusiran itu, justru banyak menimbulkan korban dari pihak penduduk local. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya La Ode Wuna menghindar ke sebuah gunung yang saat ini di kenal sebagi Gunung Rau Pe. Di Gunung itulah La Ode Wuna memulai hidup barunya dan membangun perkampungan. Di tempatnya yang baru itu, La Ode Wuna menunjukan sikap dan ahlak yang baik sehingga dia dapat berinteraksi dengan masyarakat local. Bahkan karena sikap dan ahlaknya yang baik itu serta menunjukan jiwa kepemimpinan, lambat laun masyarakat local yang sebelumnya membencinya berubah menjadi simpati dan kagum kepadanya. Aktifitas keseharian La Ode Wuna di Gunung Rau Pe adalah berkebun dan bertenak. Bersama masyarakat local, La Ode Wuna dapat meningatkan kesejahteraan hidup mereka. Oleh karena itu dia diperkenangkan untuk memperistri puteri raja yang bernama Warane/ Warang. Kepada pasangan suami istri itu, raja memberi mereka tanah di depan Pulau Tuban untuk perkampungan dan berkebun. Sedangkan untuk berternak mereka di beri tanah dari kampong Sela di sebelah kampng Tuban sampai Labuan Timur. Tanah pemberian raja itulah yang saat ini diklaim sebagai warisan La Ode Wuna pada anak-cucunya di Pulau Manipa khususnya yang bermarga Pelu di desa Luhu Tuban. Dalam mengurus ternaknya, La Ode Wuna kerap bolak balik dari Tuban ke Labuan bagian timur melewati sebuah bukit yang saat ini bernama Bukit Sapu Kaki. Kebiasaan La Ode Wuna lah yang melahirkan tradisi yang selalu dilakukan dikalangan anak cucunya yaitu mengibas-ngibaskan ranting kayu putih bila melewati bukit itu. Selain itu, setiap anak cucu La Ode Wuna yang melewati Bukit Sapu Kaki dari Tuban ke La Buan bagian timur dan sebaliknya harus melepaskan alas kakinya pada sebuah batu yang berdiameter sekita 2 meter pada titik awal di bukit Sapu Kaki. Bila ada yang tidak mematuhi ritual itu, maka akan mendapat suatu musibah yang dirasakan pada saat itu juga. Sebelum mendengar kisah La Ode Wuna di Kepulauan Maluku, penulis hanya mendengar dari cerita turun temurun dari masyarakat Muna bahwa ketika diasing ke Gua Oe Nggumora Air Berdo’a di Pulau Kogholifano Pulau Berlipan , La Ode Wuna meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku. Tepat di Tanjung Sial, Pulau Sembilan, Dia terdampar dan kelapa yang sebagai tumpangannya di tanam di tepi pantai dan sampai saat ini kelapa-kelapa tersebut masih ada. Dari sanalah kemudian La Ode Wuna berketurunan dan keturunannya masih ada sampai saat ini. Dalam tradisi tutur masyarakat Muna, tidak pernah diceritakan sepak terjang La Ode Wuna di Kepulauan Maluku. Hal itu bisa terjadi karena letak geografis atara Pulau Muna dan Kepulauan Maluku yang begitu jauh. Karena tidak adanya kelanjutan dari cerita La Ode Wuna itu, maka penulis awalnya beranggapan bahwa kisah La Ode Wuna itu hanyalah sebuah mitos belaka. Kisah itu sengaja dibuat untuk menutupi fakta sebagai intrik dalam politik kekuasaan di dalam lingkungan istana Kerajaan Muna. Tapi setelah mendapatkan kisah-kisah dari Kepulauan Maluku tersebut pikiran penulis menjadi berubah dan mengakui bahwa kisah itu adalah benar adanya karena dapat di konfirmasi dari kisah dimana dia terakhir bertempat tinggal yakni di Keplauan Maluku. La Ode Wuna di Klaim Menurut Geger Riyato, Kampung Talaga, Kampung Parigi, dan Desa Malaku adalah kantung penduduk Buton di daerah ini di Pulau Seram. Kampung ini berdiri sebelum paruh pertama abad ke-20. Beberapa dari penduduk pertama ketiga permukiman ini merupakan budak perkebunan kopra yang dibebaskan. Mereka memperoleh hak kepemilikan atas lahan dari Raja Wahai, Ibu kecamatan Seram Utara, dan sebagian lainnya yang datang belakangan mendapatkan hak untuk mengelola dan membagi hasil yang didapat dari tanah tersebut dengan keluarga raja. Kendati sebagian besar orang Buton yang saat ini hidup di permukiman-permukiman tersebut merupakan kelahiran Seram Utara, mereka tak pernah benar benar bisa menanggalkan label pendatang yang melekati mereka sejak awal kedatangan ayah dan kakeknya. Asih menurut Geger Riyanto, Label ini acap mereka peroleh seiring perlakuan menistakan dari kelompok-kelompok lain. Pada beberapa kesempatan, misalnya, mereka tidak mendapatkan bantuan sosial yang disalurkan baik perusahaan maupun pemerintah. Dan satu momen klimatiknya adalah kala Seram Utara tersambar efek domino dari konflik Ambon. Pada saat itu, berkembang kasak-kusuk orang-orang Wahai merasa terancam dengan keberadaan orang-orang Buton yang tinggal di sekelilingnya. Mereka siaga apabila harus mengusir orang-orang Buton yang dianggap pendatang belaka dari tanah yang mereka kira miliknya. Dalam kesehariannya, orang-orang Buton pun acap memelihara sendiri perasaan terpinggir sebagai pendatang ini. Tentu, konteksnya sangat wajar. Pada waktu senggangnya, para warga desa acap berbagi cerita satu sama lain. Salah satu topik yang tak jarang mengemuka lantaran kental dengan drama adalah perlakuan tak mengenakkan yang dialami sanak-saudaranya maupun diri mereka sendiri di daerah lain Maluku. Dan banyak dari antaranya sangat meneror lantaran bentuk perlakuan yang mereka terima adalah ancaman pengusiran penduduk “asli” yang merasa lapangan pekerjaan dan hajat hidupnya diserobot pendantang. Untuk mengeliminir ancaman itu, maka di klaim lah La Ode Wuna yang berasal dari Muna dulu Kerajaan Muna sebagai leluhur mereka. Mitologi asal usul La Ode Wuna sebagai leluhur masyarakat Buton terus dipertgas sebagai upaya melawan perlakukan komunitas yang selama ini merasa penduduk asli. Mengklaim La Ode Wuna sebagi leluhur mereka untuk menghapus abel pendatang tersebut sangat beralasan karena bagi sebagian masyarakat Maluku Utara khususnya di Pulau Seram masih menganggap La Ode Wuna sebagai leluhur mereka juga. Mereka berhap dengan klaim itu mereka bisa mendapatkan hak yang sama dengan penduduk “ asli “ karena sebagai leluhur mereka La Ode Wuna tentu meninggalkan warisan berupa tanah yang bisa digarap oleh anak cucunya. Hal itu seperti yang di tulis oleh Geger Riyanto dalam artikelnya bahwa alasan menjadikan La Od Wuna sebagai figur mitologis yang sedemikian memantik ketertarikan orang-orang Buton Seram Utarasebagai penandasan bahwa mereka merupakan bagian dari masa lampau Pulau Seram dan karenanya, mereka merasa mempunyai tempat yang sederajat dengan orang-orang yang mengaku asli dari Seram. Kehadiran La Ode Wuna dalam Perjanjian Supamaraina, mejadi kekuatan di masa silam yang harus diperhitungkan. Perjanjian itu pun menjadi bukti yang digenggam orang-orang Buton bahwa mereka adalah bagian dari satu peristiwa masa lalu Pulau Seram. Namun ada yang mereka lupa, bahwa tokoh yang mereka klaim itu adalah seorang yang telah datang di Pulau Seram jauh sebelum awal abad ke 20 diawal kedatangan leluhur mereka. La Ode Wuna yang mereka klaim itu juga datang hanya didampingi oleh sedikit pengawal setianya serta kawin dengan penduduk local sehingga keturunan nya dengan sendirinya menjadi orang Maluku dengan mengunakan marga berdasarkan adat setempat sebagaimana yang di klaim oleh masyarakat Tuban di Pulau Manipa yang ber marga Pelu. Selain itu, La Ode Wuna yang diklaim sebagai leluhur orang Buton di Maluku itu asal usulnya secara geografis dan budaya juga berbeda. La Ode Wuna sendiri berasal dari Kerajaan Wuna/ Muna di Pulau Muna, sementara mereka berasal dari Kepulauan Tukang Besi sekarang Wakatobi dan Pulau Buton wilayah Kesultanan Buton. Berdasarkan fakta itu, maka tidak seharusnya masyarakat Buton di Kepulaun Maluku ,mengklaim La Ode Wuna sebagai leluhur mereka, sebab secara asal usul dan sejarah kedatangannya di Maluku antara La Ode Wuna dengan komunitas masyarakat Buton sangat jauh berbeda. Apalagi kalau menggunakan nama La Ode Wuna untuk mendapat hak kepemilikan atas warisan yag ditinggalkan nya berupa tanah dan hak atas adat. Hal itu selain akan mendapat penentangan dari Orang Muna yang benar-benar sebagai anak cucunya dan La Ode Wuna sendiri dan anak cucu nya di Maluku terutama yang ada di Pulau Manipa, Pulau Sembilan dan Pulau Seram. La Ode Wuna Yang Diklaim Itu Berasal Dari Muna. Kisah La Ode Wuna, baik yang berkembang di Maluku, Di Muna dan di Buton semuanya conform bahwa La Ode Wuna berasal dari Kerajaan Wuna/ Muna di Pulau Muna. Dia adalah putera Raja Muna yang diasingkan ke sebuah Gua di Pulau Kogholofano Wilayah Kerajaan Muna- sekarang Kabupaten Muna kemudian berlayar sampai di Kepulauan Maluku. Dalam tradisi tutur masyarakat Muna, ada dua versi yang mengisahkan tentang keberadaan La Ode Wuna. Satu versi, La Ode Wuna di kisahkan sebagai anak Sugi Manuru, Raja Muna ke 6, bersaudra dengan La Kilaponto, Raja Muna ke 7 yang kemudian mendirikan Kesultanan Buton sekaligus sebagaii sultan pertama. Sedangkan versi kedua dikisahkan sebagai anak dari Omputo Sangia, Raja Muna ke 14 bersaudara dengan Wa Ode Kamo moono Kamba. Namun dari kedua versi itu, baik isi cerita maupun endingnya memilki kesamaan yakni La Ode Wuna memiliki fisik setengah bagian tubuhnya dari kepala ke pinggang berwujud manusia dan setengah lainya dari pinggang ke bawah berwujud ular. Sedangkan endingnya, La Ode Wuna diasingkan ke sebuah Gua yang bernama Oe Nggumora air berdo’a di Pulau Kogholofano dan terakhir berlayar ke Maluku dan mnetap disana. Dalam versi Buton, La Ode Wuna di kisahkan sebagai anak La Kilaponto dan memiliki saudara kembar yang bernama La Manggapore. La Ode Wuna dalam versi Buton itu dikisahkan lahir dari hubungan gelap La Kilaponto dengan saudaranya sendiri yang bernama Wa Pogo. Karena hubungan cinta terlarang dua bersaudara itu, La Kolaponto dan dan Wa Pogo yang dalam keadaan hamil karena hubungan terlarang itu diusir oleh ayahnya Sugi Manuru Raja Muna ke 6. Dalam perjalanan pengasingannya itu, Wa Pogo melahirkan di sebuah tempat yang saat ini di kenal sebagai Keluruhana Lea-lea Kota Baubau dan anak yang dilahirkan kembar yang satu berwujud anusia utuh yang diberi nama La Manggapore dan yang satunya berwujud Ular dan di beri nama La Ode Wuna. Belakangan La Ode wuna di usir dari istana La Kilaponto yang saat itu telah menjadi Sultan Buton pertama Karena sering mengganggu dayang-dayang istana. Tempat dibuangnya La Ode Wuna adalah di Oe Nggumora seperti yang berkembang di Muna. Dari Oe Nggumora itu kemudian La Ode Wuna meneruskan perjalanannya hingga sampai di Pulau Seram. Sedangkan dalam Kisah La Ode Wuna di Kepulauan Maluku, baik yang ada di Pulau Manipa maupun Pulau Seram, tidak terlalu rigit mengisahkan tentang asal usulnya. Dari semua kisah di Kepulauan Mauku yang di dapat oleh penulis semua mengisahkan bahwa La Ode Wuna anak Raja Muna. Sedangkan ending dari kisah-kisah itu sebagaimana yang diulas pada prolog artikel ini. Demikianlah artikel ini yang mengngkap asal usul tokoh “ mitologi “ La Ode Wuna yang begitu popular di daerah yang jauh dari tempat ke lahirannya. Bahkan karena jauhnya sebaran pengisahaannya itu sehingga anak cucunya di daerah asalnya tidak terlalu mengenalnya apalagi sampai membanggakannya atau mengenagnya sebagai lelur mereka. Baubau, 25 Juni 2020 Muhammad Alimuddin Silakan klik unduh untuk Unduh artikel Geger Riyanto yang berjudul “ Bermain-main dengan Kebenaran Sejarah Kontestasi Kedudukan dan Produksi Sosial Narasi Awal Mula Baca juga Artikel terbaru Pagelaran Budaya Muna di Halal bi Halal Rumpun Keluarga Besar Kapitalao Loghia Maluno te Bhontuoleh la ode muhammad ramadanApril 25, 2023Sebagai upaya merajut kebersamaan dan memperkokoh silaturahmi dalam mewujudkan persatuan, rumpun keluarga besar almarhum La Ode Tao Kapitalao Loghia Maluno te Bhontu menggelar halal biLanjutkan membaca “Pagelaran Budaya Muna di Halal bi Halal Rumpun Keluarga Besar Kapitalao Loghia Maluno te Bhontu” SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAHoleh Muhammad AlimuddinApril 2, 2023ASESMEN KESADARAN SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH By humas on Wed, 01/04/2023 – 0751 Masa lampau adalah keniscayaan, masa kini kenyataan, dan masa depan adalah harapan. HalLanjutkan membaca “SEJARAH DAN NASIONALISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” Kalangkari dan Bhara, Musim Tanam Masyarakat Suku Munaoleh la ode muhammad ramadanMaret 17, 2023Dahulu, masyarakat Suku Muna merupakan masyarakat agraris yang mata pencaharian utamanya berasal dari hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur mayur, dan lainnyaLanjutkan membaca “Kalangkari dan Bhara, Musim Tanam Masyarakat Suku Muna” Rencana Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Bioflok di Makodim 1416/Munaoleh la ode muhammad ramadanDesember 3, 2022Pekan terakhir November 2022, saya mendapatkan tugas dari pimpinan untuk menjadi salah satu tim teknis kegiatan budidaya ikan nila dengan system bioflok di Markas KomandoLanjutkan membaca “Rencana Budidaya Ikan Nila dengan Sistem Bioflok di Makodim 1416/Muna” Melestarikan Alam Bersama Mahasiswa Perikanan di Tanah Munaoleh la ode muhammad ramadanNovember 11, 2022Dipenghujung Oktober 2022, saya mendapatkan amanah untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang terumbu karang kepada para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di tanah Muna. TugasLanjutkan membaca “Melestarikan Alam Bersama Mahasiswa Perikanan di Tanah Muna“ Kritik Sebaiknya Dijadikan Pelajaran untuk Perbaikanoleh la ode muhammad ramadanNovember 9, 2022Ditengah waktu senggang istrahat siang, Rabu 9/11/2022, saya sempatkan melihat-lihat perkembangan informasi dimedia sosial facebook. Ada satu status yang sedikit menarik perhatian saya. Status tersebutLanjutkan membaca “Kritik Sebaiknya Dijadikan Pelajaran untuk Perbaikan“ Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Munaoleh Muhammad AlimuddinAgustus 27, 2022Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Muna Dalam Prespektif Hukum Tata Negara Moderen Oleh Muhammad Alimuddin A. SELAYANG PANDANG SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA KerajaanLanjutkan membaca “Sistem Pemerintahan dan Struktur Ketata Negaraan Kerajaan Muna” Lahirdi Rangkasbitung pada tanggal 22 September 1933. Hasil karangannya antara lain: Bung Besar (drama, 1958), Setengah Jam Menjelang Maut (drama, 1968), Menyusuri Jejak Berdarah (novel, 1967), cerita pendeknya antara lain yang berjudul Musim Barat (1956), Si Embok dan Si Kukut (1959), Nasihat (1961), dan lain-lain.Karya dalam bentuk film antara lain: Saodah, Istana Jang Hilang, Romansa Dalam kehidupan ini, terdapat berbagai macam mitos yang di percaya oleh sebagian besar umat manusia. Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib KBBI 2010. Setiap daerah dan suku bangsa memiliki mitosnya masing – masing, terkadang dalam suatu daerah terdapat belasan bahkan puluhan cerita mitos yang dipercaya dan selau di ceritakan turun temurun oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Layaknya daerah - daerah lain di indonesia di daerah tempat kelahiran saya yaitu di pulau Buton juga memiliki cerita – cerita mitos yang selalu di ceritakan secara lisan sejak zaman dahulu. Salah satu mitos yang berkembang dan dipercaya oleh sebagaian besar masyarakat sampai saat ini adalah tentang sosok mahluk sakti mandaraguna yang memiliki bentuk tubuh yang tidak lazim, yaitu separuh ular dan separuh lagi di daerah saya menyebut mahluk ini dengan nama la ode wuna. GAMBAR ILUSTRASI SOSOK LA ODE WUNA Dinamakan la ode wuna karena menurut cerita bahwa ia lahir di pulau muna yaitu sebuah pulau yang terletak tidak jauh dari pulau buton. Dan sekaligus laode wuna juga merupakan putra dari salah satu raja muna yang bernama omputo sangia. Untuk lebih jelasnya, silahkan kawan – kawan simak kisah tentang la ode wuna di bawah ini. syahdan, di pulau muna hiduplah seorang raja yang bergelar Omputusangia, nama asli dari Omputusangia adalah La Ode Husaeni di perkirakan beliau memerintah pada tahun 1716-1757. Omputusangia memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Dalam kesehariannya , Omputusangia hanya disibukkan dengan berbagai macam urusan pemerintahan. Akibatnya beliau tidak pernah berpikir untuk memperoleh keturunan sebagai pelanjutnya. Pada suatu malam,ketika Omputusangia duduk merenung di tempat peristirahatannya, ia pun mulai menyadari bahwa setelah tujuh puluh tahun pernikahannya, ia dan istrinya belum juga dikaruniai seorang anak. Keadaan ini pada akhirnya membuat omputo sangia menjadi resah dan frustasi. suatu hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna dikunjungi oleh seorang saudagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama Islam, saudagar tersebut bernama Saidhi Raba. Pengawal kerajaan itu menambahkan pula bahwa Saidhi Raba memiliki kesaktian yang luar biasa dan Karena kesaktianya itu Saidhi Raba datang di pulau Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi Raba agar datang menemuinya di istana. Olehnya itu, berangkatlah pengawal kerajaan tersebut ke tempat Saidhi Raba. Setelah raja menunggu seharian di istana, akhirnya pengawal yang disuruhnya tadi kembali, namun tidak bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan marah, pengawal tersebut menjelaskan alasannya mengapa ia tidak datang bersama Saidhi Raba. Pengawal itu mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak ingin datang ke Istana karena raja memelihara babi, dan menurut ajaran agama Saidhi Raba yakni Islam, babi adalah binatang yang haram. Demi untuk menghadirkan Saidhi Raba keistana, omputo sangia rela melepas seluruh babi peliharaanya, dan Setelah itu diperintahkanlah pengawal untuk kembali menjemput Saidhi Tidak lama kemudian,datanglah Saidhi ke Istana dan b menanyakan perihal pemanggilan dirinya. Omputusangia pun berkata bahwa perihal pemanggilan saidhi raba kesitana karena ia ingin menguji kesaktian yang dimiliki Saidhi Raba. Pertama-tama, omputosangia menminta Saidhi Raba untuk membaca isi hatinya, apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang ia inginkan saat itu, maka omputo sangia akan masuk Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba pun mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki seorang anak karena istrinya mandul. Dan untuk mewujudkan keinginan omputo sangia , maka Berdoalah Saidhi Raba kepada Tuhan agar agar istri omputo sangia yang sudah tua itu bisa mengandung seorang anak,namun beberapa hari berlalu doa yang di panjatkan saidhi raba tidak kujung itu, Muncul kecurigaan dalam benak omputosangia bahwa Saidhi Raba tidaklah sehebat seperti apa yang dibicarakan. Dengan belum terkabulnya doa saidhi Raba tidak lantas membuatnya putus asa. Ia pun kembali berdoa dan terus berdoa dan pada akhirnya ,doa Saidhi Raba diterima oleh Allah. Istri Raja pun mengandung dan pada akhirnya omputo sangia masuk agama Islam. Sebelum ia kembali, Saidhi Raba mengingatkan pada omputo sangia bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan Tuhan karena umur permaisuri sudah sangat tua. Tibalah waktunya permaisuri untuk melahirkan. Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang dilahirkan oleh istri Raja Muna tersebut adalah berupa makhluk berbadan setengah manusia dan setengah ular, anak itu di beri nama la ode wuna. Raja pun sangat sedih melihat kondisi anaknya. Setiap hari, apabila ada kunjungan tamu dari Bugis ataupun Minangkabau, anaknya yang diberi nama La ode Muna tersebut selalu disembunyikan oleh raja dalam sebuah guci karena ia malu dengan kondisi fisik yang dialami oleh anaknya itu. Lima belas tahun kemudian, La ode Muna tumbuh menjadi seorang remaja, maka. Mulailah ia menggoda para gadis yang ada dalam lingkungan istana. Ia pun menyampaikan niatnya kepada ayahnya untuk memiliki seorang kekasih, namun Raja tidak menhendaki niatan laode wuna tersebut. Bahkan ia melarang la ode wuna untuk mendekati wanita, karena menurutnya tidak mungkin La Ode wuna dapat menikahi seorang gadis dengan kondisi fisik setengah manusia dan setengah ular. Sampai pada suatu hari, Omputosangia memutuskan untuk mengasingkan La Ode Muna agar ia tidak mendapatkan malu dari anak jadi-jadian itu. Raja kemudian mengasingkan La Ode Muna di Unggumora dengan bekal 44 biji telur dan 44 biji pada akhirnya, di hari ke empat puluh ia diasingkan, La Ode Muna terbang ke langit dengan badan yang menyala sembari berkata bahwa saya telah terbang. Demikianlah kisah tentang laode wuna, bagi sebagian besar masyarakat muna dan buton, percaya bahwa laode wuna masih hidup sampai hari ini. Dan Karena kesiaktian yang dimilikanya laode wuna dianggap sebagai sosok makhluk yang senantiasa melindungi pulau muna dan buton dari berbagai macam ancaman dan marabahaya. Namun begitulah mitos, entah benar atau tidak biarlah akal kita yang mengolahnya. Wallahu alam Bissowab. Rajawas born on 1955-06-1. Raja's age is about 66. Residents of 2008 Forest Av, Belmont, CA 94002-1633 include Raja. Mona Ann Behan, Mona Muna, and four other persons are also associated with this address. The phone numbers of Raja are (650) 592-6168 (Pacific Bell), (650) 619-3461 (New Cingular Wireless PCS, LLCPacific Bell). Jakarta - Penampakan ular yang melingkar di pilar Bangsal Magangan, Keraton Yogyakarta, memicu kehebohan. Ular sendiri memang memiliki tempat dalam khazanah kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa bahkan mengenal mitos Dewi Nagini yang kerap muncul dalam cerita sosok dewi Nagini ini bahkan sempat viral usai penulis terkenal serial 'Harry Potter', JK Rowling, menulis soal Nagini di Twitter. Rowling menjelaskan bahwa Nagini adalah mitos ular naga yang berasal dari Indonesia."Naga adalah makhluk dongeng mirip ular dalam mitologi Indonesia, dinamakan 'Nagini'. Mereka digambarkan sebagai makhluk bersayap setengah manusia, setengah ular. Indonesia terdiri dari ratusan kelompok etnis, termasuk Jawa, China, dan Betawi," tulis Rowling di akun Twitter-nya pada Rabu 26/9/2018. [GambasTwitter]Nagini sendiri beberapa muncul dalam film 'Harry Potter' sebagai pendamping setia Lord Voldemort. Selain itu, sosok Nagini muncul dalam film 'Fantastic Beasts' yang diisi oleh makhluk-makhluk sendiri memang hidup dalam budaya masyarakat Jawa. Sosoknya ada dalam sastra Jawa dari tulisan berjudul 'Inovasi Cerita dalam Ketoprak Anglingdarma' yang ditulis Akhmad Nugroho, sosok Dewi Nagini muncul dalam Tantri Kamandaka. Naskah lontar berbahasa Jawa Kuno ini menceritakan bahwa Dewi Nagini ialah putri dari seorang raja dalam tulisan yang terbit dalam jurnal Humaniora UGM vol 3 Tahun 2003 itu juga bercerita bahwa Dewi Nagini pernah ketahuan sedang berzina dengan ular sembarang. Orang yang memergokinya ialah Prabu Aridarma. Berzina dengan ular sembarangan dianggap melanggar tatanan karena bisa merusak Aridarma lantas memukul ekor Nagini. Nagini pun sakit hati dan akhirnya mengadu kepada ayahnya, raja ular itu. Sang raja marah mendengar pengaduan putrinya. Dia pun menuntut balas dengan mengubah dirinya menjadi ular kecil, agar bisa menyelinap di pembaringan Prabu alih-alih menuntut balas, sang raja justru sadar bahwa Naginilah yang bersalah. Sang raja mendengar cerita Prabu Aridarma kepada istrinya soal kesalahan putrinya itu. Raja ular pun mengubah bentuknya menjadi seorang brahmana. Dia kemudian memberikan tawaran kemampuan berbicara dengan hewan kepada juga 'Karakter Nagini Terinspirasi dari Mitos Indonesia'[GambasVideo 20detik]RajaRaja Muna. Bheteno Netombula, Raja Muna I; LA KILAPONTO " OMPUTO MEPOKONDUAGHONO "GHOERA" Raja Muna I ( Bheteno Netombula ) Raja Muna II - La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola (1467-1477). Raja Muna III -La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1477 - 1497 ) Raja Muna VI Sugi Manuru ( 1527-1538 ). Raja Muna X
RAJA –RAJA WUNA PRA ISLAM 1. Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, 1417 – 1467. La Eli alis Baidhudhamani gelar Bheteno Ne Tombula adalah Raja Muna Pertama. Dalam tradisi lisan masyarakat Muna diceritakan bahwa La Eli alias Baidhuldhamani adalah manusia sakti yang ditemukan di dalam rumpun bambu ada juga yang menceritakan dari dalam ruas bambu oleh sekelompok orang yang sedang mencari bambu untuk keperluan pembuatan bangsal pada pesta yang akan digelar oleh Mieno Wamelai salah seorang pemimpin kampung di Muna. Karena penemuannya di dalam rumpun bambu tersebut, setelah dinobatkan menjadi Raja Muna I diberi gelar Omputo Bheteno Ne Tombula Yang Dipertuan Yang Muncul Dari Bambu . Selengkapnya Baca Halaman Bheteno Netombula. Bheteno Ne Tombula memilikki dua orang Putra yakni La Aka Alias Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola dan Runtu Wulae dan satu orang putri yaitu Wa Ode Pogo. Kaghua Bangkano Fotu/ La Aka kemudian menjadi raja Muna II sedangkan Runtu Wulae kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di Negeri leluhurnya tersebut. Wa Ode Pogo menurunkan golongan kaomu yang berfungsi sebagai Legislasi dan Yudikatif di kerajaan Muna. La Marati Bonto Balano I Sejenis MPR yang berfungsi sebagai lembaga yang memilih dan melantik Raja Muna pertma adalah keturunan Wa Ode Pogo. 2. Raja Muna II – La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola 1467 – 1477 . Kaghua Bangkano Fotu adalah salah seorang dari dua orang putra Bheteno Ne Tombula dengan Permaisurinya Wa Tandi Abe. Saudara Kaghua Bangkano Fotu yang bernama Runtu Wulae kembali ke Kerajaan Luwu negeri leluhurnya untuk menjadi raja dinegeri tersebut. 3. Raja Muna III – La Mbona Gelar Sugi Ambona 1477 – 1497 4. Raja Muna IV – La Patani gelar Sugi Patani 1497 – 1512 5. Raja Muna V – Sugi La Ende – 1512-1527 6. Raja Muna VI – Sugi Manuru 1527-1538 . Pada masa pemerintahan Sugi manuru, penyebaran agama Islam gelombang pertama mulai masuk di Muna dibawah oleh Syekh Abdul Wahid . Penyebaran islam saat itu masih sangat lambat karena pengaruh kepercayaan animisme yang dianut sebelumnya oleh masyarakat Muna masih melekat dengan sangat kuatnya. Pada gelombang pertama penyebaran agama islam di Muna hanya ada beberapa orang kerabat kerajaan yang tertarik untuk mempelajari ajaran Islam yang diajarkan oleh Syekh Abd. Wahid tersebut. Salah satu diantaranya adalah La Kilaponto Putra Raja Muna VI Sugi Manuru, yang kemudian menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya. Hal lain yang menghambat meluasnya penyebaran agama islam di Muna adalah karena belum cukup satu tahun menjadi Raja Muna, La Kilaponto telah dilantik menjadi Raja Buton VI menggantikan mertuanya yang telah meninggal dunia. Setelah menjadi raja buton, La Kilaponto kemudian pindah ke Baubau pusat kerajaan Buton. Bersamaan dengan itu Syekh Abd. Wahid guru agama beliau juga turut dibawah ke Buton sehingga penyebaran agama islam di muna terhenti, sedangkan di Buton berjalan begitu pesat. Bahkan agama islam begitu mempengaruhi istnah sehingga Buton berubah menjadi kesultanan dan hukum islam menjadi hukum negara dengan syultan pertamanya adalah La Kilaponto dengan Gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis. 7. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera 1538-1541. La Kilaponto adalah penganut Islam yang taat. La Kilaponto memeluk islam sebelum menjadi raja Raja Muna. Dia mengenal islam dari penyebar agama islam pertama di kerjaan muna Syekh Abdul Wahid 1527. Nila-nilai islam begitu tertancap dalam hatinya sebab beliau mempelajari islam dari usia yang sangat mudah. Karena ketaatannya terhadap islam, sehingga ketika menjadi Raja buton beliau menjadikan hukum islam sebagai hukum negara dan bentuk negara di rubah menjadi Kesultanan. La Kilaponto juga di kenal sebagai manusia yang fenomenal karena beliau perna menjadi raja di lima kerajaan besar yang ada di Sulawesi tenggara dalam Waktu yang bersamaan. La Kilaponto juga merupakan pemimpin yang kharismatik dan berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga termasuk juga pemerintah kolonial belanda. La Kilaponto yang dikenal sangat sakti dan piawai dalam strategi perang, membuat Belanda tidak mampu mengintervensi Kesultanan Buton juga Kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh La Kilaponto. La Kilaponto sebenarnya telah membaca gelagat tidak baik yang ditunjukan oleh Belanda. Olehnya itu selama berkuasa La Kilaponto menjalankan politik Kesetaraan dengan pemerintah Kolonial Belanda. La Kilaponto tidak berupaya untuk melakukan konfrontasi dengan Belanda. Hubungan pemerintahan kolonial belanda sebatas hubungan dagang dan diplomatis. Hal ini berkaitan dengan falsafa hidup yang dianut Oleh Lakilaponto yang pernah diajarkan oleh Ayahandanya Sugi Manuru yaitu “Pobini-biniti Kuli”. Arti harafia dari ajaran tersebut adalah saling tenggang rasa dan saling menghargai. Jadi menurut La Kilaponto selama Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengganggu kehormatan dan kedaulatan Negeri Buton dan negeri tetangganya khususnya Kerajaan Muna yang merupakan negeri leluhurnya dan beliau pernah menjadi Raja di Negeri tersebut, maka La ilaponto tidak akan menyerang Belanda. Disaat La Kolaponto masih hidup belanda sudah mecah belah miliki keinginan untuk menguasai kesultanan Buton untuk dikuasai, namun karena segan dengan La Kilaponto keinginan itu di urungkan. Hal ini berkaitan dengan letak strategis Kesultanan Buton sebagai pintu gerbang Kerajaan-Kerajaan di Tumur dan barat Nusantara. Untuk mewujudkan keinginannya itu Belanda melakukan politik ocupasi dan pecah belah. Olehnya itu mereka melakukan strategi kerja sama perdagangan. Selama itu mereka terus melakukan pendekatan dengan aparat Kesultanan Buton. Politik pecah bela Belanda mendapatkan hasil setelah La Kilaponto Mangkat dan di gantikan oleh Putranya dengan Putri Raja Jampea yang bernama La Tumparasi. Keberhasilan Politik adu domba belanda itu di tandai dengan di gulingkannya Sultan Kaimuddin II dari tahtanya karena bersikap tegas perlawanan dengan kolonial belanda oleh sarana Wolio. 8. Raja Muna VIII -La Posasu gelar Kobangkuduno 1541-1551. 9. Raja Muna IX – Rampeisomba 1551-1600. 10. Raja Muna X – Titakono 1600- 1625 Pada masa pemerintahan La Titakono, penyebar Islam gelombang kedua yakni Firus Muammad masuk di Muna. Pada gelombang kedua penyebaran isalam ini belum mampu mengislamkan Raja Muna, sehingga pengaruh islam belum masuk ke istana. Walaupun La Totakono BELUM memeluk Islam namun beliau sangaat menghargai nilai-nilai islam. Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams, pada masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna 1614 . Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Salah satu murid dari Firus Muamad adalah La Ode Sa’aduddin putra dari Raja Muna X Titakono. Setelah Titakono mangkat, La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI. Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano. Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna. RAJA –RAJA MUNA PASCA AGAMA ISLAM 1. Raja Muna XI – La Ode Sa’adudin 1625-1626 La Ode Sa’aduddin adalah Raja Muna pertama yang memeluk islam. Pada masa pemerintahan beliau agama islam mulai mengalami perkembangan. Agama islam bukan saja di pelajari dikalangan istana tetapi mulai diajarkan pada massyarakat luas. Pusat pendidikan agama islam yag didirikan oleh ayahandanya Raja Muna X Titakono mulai kedtangan banyak murid untuk belajar. 2. Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea 1626-1667- Periode pertama. Pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama islam masuk di Muna di bawah oleh Syarif Muhammad. 3. Raja Muna XIII – Wa Ode Wakelu Permaisuri raja La Ode Ngkadiri - 1667-1668. Wa Ode Wakelu menjadi raja menggantikan suaminya La Ode Ngakadiri karena di jatuhkan oleh oleh Belanda. 4. Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris. 1668-1671. La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XII. 5. La Ode Ngkadiri Periode Kedua – 1671 Pemerintahan La Ode Ngkadiri di periode Kedua ini di bawah pengaruh kekuasaan kolonial belanda. 6. Raja Muna XV – La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho 1671-1716 7. Raja Muna XVI – La Ode Husaini gelar Omputo Sangia 1716-1767 8. Raja Muna XVII – La Ode Muh. Ali 1767 9. Raja Muna XVIII –L a Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo 1758-1764 10. Raja Muna XIX – La Ode Harisi 1767 – ? La Ode Harisi memperkenalkan prutra mahkota dalam suksesi raja di kerajaan Muna. 11. Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege, La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano bhitara yang memangku kekuasaan peradilan- MA? . Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan. 12. Raja Muna XXI – La Ode Murusali gelar sangia gola 13. Raja Muna XXII – La Ode Ngkumabusi 14. Raja Muna XXIII – La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo. Pada masa pemerintahan La Ode Sulaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin. Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu Keturunan Raja akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka. Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki. Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna. Ketidak mapuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum gantung. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo Negege artinya Raja yang dihukum gantung. 15. Raja Muna XIV – LA Ode Saete gelar Sorano Masigi 1816-1830 . La Ode Saete merupakan Raja Muna yang dipilih oleh sarano dewan adat Wuna. Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Untuk mengurangi intervensi Kolonial Belanda Raja La Ode Saete kembali meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna sekaligus melakukan konfrontasi dengan Belanda yang berkoalisi dengan Kesultanan Buton. Semasa kepemimpinan La Ode Sumaili sebagai raja Muna, terjadi beberapa kali perang terbuka antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang dibantu dengan Kesultanan buton. Dalam perang tersebut Pasukan Belanda dan dan Buton terus mengalami kekalahan. Belanda dan sekutunya Buton kewalahan menghadapi Pasukan Kerajaan Muna. Konfrontasi antara Belanda dengan sekutunya Buton melawan Kerajaan Muna terus berlanjut sampai La Ode Saetei Mangkat pada tahun 1830. 16. Raja Muna XXV – La Ode Bulae gelar Sangia Laghada 1830-1861 Setelah La Ode Suaete Mangkat, Dewan adat Sarano Wuna mengadakan rapat untuk melakukan pemilihan Raja penggantinya. Dalam rapat tersebut disepakati untuk mengangkat La Ode Bulae sebagai Raja Muna. La Ode Bulae dalam mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan pendahulunya La Ode Saete untuk konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam persudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu. 17. Raja Muna XXVI – La Aka 1861-1864 La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif. 18. Raja Muna XXVII – La Ode Ali gelar sangia Rahia 1864-1870 19. Raja Muna XXVII – LA Ode Huse 20. Raja Muna XXIX – La Ode Tao 21. Raja Muna XXX – La Ode Ngkaili 1903-1906 Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna. 22. Raja Muna XXXI – La Ode Maktubu 1906 –- 1914 Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa VOC Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna. La Ode Maktubu adalah Putara Sultan Buton La Ode Salihi. Intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Muna. Sebagai wujud dari perlawanan itu adalah pada waktu yang bersamaan Sarano Wuna mengadakan rapat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja. Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton. Karena tidak kuasa melawan sendiri keperkasaan prajurit Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Maktubu Kembali Ke Buton dan pengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya Belanda. Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah kolonial belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna. Raja Muna XXXII – La Ode Umara II 1906 Setelah la ode maktubu tidak mendapat pengakuan dari sarano Wuna serta diusir dari kerajaan Muna, pemerintah Kolonial Belanda Mengutus La Ode umara gelar Sangia Bariyah. Strategi yang dilakukan pemerintah Kolonial ini cukup berhasil sebab selain La Ode Umara yang memiliki garis keturunann dari Muna yaitu putra dari Kenepulu Bula , La Ode Umara juga masih menjabat sebagai Sultan Buton. Setelah situasi kembali kondusif dan pemerintah belanda semakin dalam kukunya tertancap di kerajaan Muna, La Ode Maktubu Kembali di lantik menjadi Raja Muna sampai tahun 1914 23. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu 1914-1918 Pada masa pemerintahan la Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Pada akhir masa pemerintahan La Ode Pulu 1918 Pemerintah Kolonial belanda dan Kesultanan Buton Sultan Buton Saat itu La Ode Muh. Asikin secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling. Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu melakukan perlawanan dan tidak mengakui perjanjian tersebut. Akibatnya la Ode Pulu di asingkan Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja. 24. Raja Muna XXXIV – La Ode Afiuddin 1920-1824 La Ode Afiuddin yang diharapkan Belanda akan bekerja sama ternyata bersikap sama dengan Raja sebelumnya La Ode Pulu. Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 juga tidak diakui dan terus melakukan perlawanan. Akibatnya belanda kembali mengambil alih pemerintahan di kerajaan muna. 25. – 1924-1926. pada tahun ini oleh pemerintah Kolonial belanda dianyatakan bahwa Kerajaan Muna berada dibawah pemerintahan darurat militer Belanda. Semua urusan administrasi diambil alih oleh Belanda. 26. Raja Muna XXXV – La Ode Rere 1926-1928 Setelah dua tahun pemerintahan darurat militer belanda di berlakukan di kerajaan Muna, Sarano Wuna melakukan sidang untuk kembali mengangkat Raja Muna. Pada saat itu oleh sarano wuna disepakati La Ode Rere Sebagai Raja Muna. Sama halnya dengan Raja La Ode Pulu dan La Ode Afifuddin, Lam Ode Rere juga tidak mengakui perjanjian Korte Verklering akibatnya Belanda kembali menjatuhkan La Ode rere dari keududkannya sebagai Raja Muna. 27. – 1928-1938, terjadi kevakuman pemerintahan di Kerajaan Muna. Belanda sebagai penguasa Kolonial mengabil alih untuk mengendalikan pemerintahan sambil menunggu sidang dewan Sara untuk menjjuk Raja baru. 28. Raja Muna XXXVI – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino 1930- 1938 . Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari bahan pembuatan masjid tersebut dibantu oleh Jules Couvreur seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Muna saat itu . Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika tidak mau tunduk dengan belanda dan koloninya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap pperlawanan La Ode Dika tersebut diperlihatkan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton Muhammad Hamidi, la Ode Dika tidak mau memberi hormat, tapi justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton. Apa yang yang dilakukan La De Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika di panggil menghadap Perwakilan pemerintah kolonial Belanda di makassar untuk mendengar langsung keputusan Pemerintah Kolonial yang memecat dirinya dari jabatan Raja Muna. Sepulangnya dari makassar, La ode Dika langsung meninggalkan kamali/Istana kerajaan Muna. Seluruh urusan administrasi kenegaraan diserahkan pada sekretaris kerajaan yakni La ode Sabora . Sayangngnya kamali/ istanaa tersebut pada masa pemerintrahan Drs. La Ode kaimuddin sebagai Bupati Muna yang juga merupakan putra dari La ode Dika di Rubah menjadi gedung Pertemuan Gedung wamelai. 29. 1938-1941 Pemerintahan Kerajaan Muna sepenuhnnya di kendalikan oleh Kolonial belanda. 30. !941 – 1946 Pemerintahan Kerjaan Muna benar-benar lumpuh sebab Belanda telah keluar dari kerajaan muna karena takluk dengan pemerintahan militer Jepang. Pada masa itu pemerintahan dijalankan oleh pemerintahan Militer Jepang dari Batalion Laut yang bermarkas di Manado. 31. 1946-1947. Setelah Jepang menyerah dari Pasukan Kualisi, seluruh personil Jepang meninggalkan Muna dan digantikan dengan pasukan Nica. 32. Raja Muna XXXVII – La Ode Pandu 1947-1956. Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna, pemerintah Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan La Ode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu meninggal akibat ditembak gerombolan Di/II di Posunsuno saat melakukan kunjungan di Wasolangka. 33. 12 Desember 1956 Muna menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kabupaten bersama 3 Kabupaten lainya yaitu, Kendari Kolaka dan Buton. Bahan Bacaan 1. Sejarah Muna – La Kimi Batoa, Jaya Press Raha 2. Silsilah Raja-Raja Muna – Koleksi Museum KTVL Belanda 3. M. Nasrun- Kerajaan Muna dan Sistem Kemasyarakatan Jakarta 1989 4. Mahmud Hamundu,Prof- Sultan Murhum Tokoh Pemersatu Kerajaan-Kerajaan Tradisional Di Sulawesi Tenggara Makalah- 2005 5. 6. Baca Juga MENILIK KEKUATAN ANGKATAN PERANG KERAJAAN MUNAMENGENAL “ WASITAO”, MERAJUT KEMBALI KEKERABATAN ANTAR ETNIK DI SULAWESIPencarian Jejak Leluhur Yang TerlupakanTata Bahasa MunaB a h a s a W u n a Wamba Wuna SEJARAH DINASTI KERAJAAN MUNAMENILIK KEKUATAN ANGKATAN PERANG KERAJAAN MUNAO R A N G W U N A/ O R A N G W U N AKorban Banjir Bandang Akibat Tambang, Tuntut PT Billy Dan Pemda Baca juga Artikel terkait Temukan artkel berdasarkan kategori Artikel 16 Berita 13 Lingkungan Hidup 3 Budaya 24 BAHASA 4 budaya muna 15 Budaya Sultra 1 PUISI 3 DETINASI WISATA 13 KULINER 1 Hukum Dan Perundang-Undangan 1 Hukum Adat 1 post 528 sejarah 33 Sejarah Muna 27 Sejarah Nasional 5 Sejarah Sultra 3
Janganlupa dengan penjaga gaib Anta, Ratu Sanca. Ular besar yang memiliki wajah seorang perempuan dan dua tangan itu. Dia akan berbentuk boneka ular saat bertemu manusia, dan berubah menjadi ular besar kembali jika bertemu dengan makhluk gaib yang menganggu Anta. *** Kejadian Tante Dewi dan Andri di rumah sakit setelah melahirkan Raja. - Dalam trailer terbaru Fantastic Beast 2, muncul aktris Korea Selatan yang memerankan tokoh Nagini, makhluk mistik ular setengah manusia. Lewat unggahan Twitternya, JK Rowling sang penulis kisah fiksi Harry Potter menerangkan bahwa Nagini merupakan karakter yang tercipta dari referensi makhluk mitologi naga asal Indonesia."Naga merupakan makhluk mistik mirip ular dari mitologi Indonesia, oleh karena itu namanya Nagini. Mereka digambarkan sebagai makhluk bersayap setengah manusia, setengah ular," tulis Rowling dalam akun Twitter-nya, Rabu 26/9/2018.Lantas, seperti apakah Nagini dalam mitologi Indonesia, khususnya Jawa? Baca juga Pandangan Pakar Budaya Jawa Soal Nagini Versi Harry Potter "Dalam mitologi Jawa yang terekspresikan melalui boneka, kisah, maupun pertunjukan wayang, ada nama yang mirip dengan kata Nagini, yaitu Nagagini," ungkap Dr Darmoko, dosen Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia kepada Jumat 28/9/2018.Darmoko menceritakan, Nagagini adalah dewi ular. Ia merupakan putri dewa ular bernama Hyang Antaboga yang mendiami bumi lapisan ke tujuh atau dikenal dengan Sapta Pratala."Di dalam kisah wayang purwa Mahabharata, Hyang Antaboga berhasil menyelamatkan para Pandawa Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa dalam sebuah pesta di tengah hutan dengan membuat terowongan dari Kahyangan Saptapratala sampai Balai Sigalagala dengan menyamar sebagai luwak garangan berwarna putih," kata Darmoko bercerita. "Setelah para Pandawa berada di Kahyangan Sapta Pratala, Nagagini dan Bima saling jatuh cinta, kemudian keduanya dikawinkan oleh Hyang Antaboga. Dari hasil perkawinan itu lahirlah Antareja".Dalam kisah pewayangan, Nagagini digambarkan seperti manusia biasa dengan paras cantik jelita. Hanya saja, karena ia memiliki darah keturunan ular, dalam keadaan tertentu ia dapat berubah menjadi sosok ular menyeramkan, terutama saat sedang dalam kondisi dipenuhi amarah. Ekspresi rupa wayang Nagagini dalam bentuk ular setengah manusia"Nagagini wanita ular memiliki karakter setia dan patuh kepada suami. Ia adalah dewi anak dewa nan cantik rupawan namun juga dapat berubah wujud menjadi ular jika terusik nafsu amarahnya. Perubahan wujud untuk melindungi diri dari gangguan siapa pun," terang Darmoko. Baca juga Acha Septriasa Pernah Dapat Tawaran Jadi Nagini Sayamenjumpai sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila. MikaelF/ CC BY-SA via Ancient Origins Citra Shahmaran melibatkan banyak elemen. adalah nama yang diberikan kepada makhluk mitos yang ditemukan di berbagai budaya Timur Tengah, khususnya di wilayah Anatolia timur Turki. Menurut cerita rakyat dari budaya ini, Shahmaran adalah makhluk dengan bagian atas wanita, dan bagian bawahnya ular. Menurut legenda Shahmaran memiliki kekuatan magis, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengkhianatan dan kematiannya di tangan manusia. Legenda Shahmaran bergema bahkan sampai hari ini, karena ia diyakini memiliki kekuatan pelindung. Oleh karena itu, gambarnya digunakan sebagai jimat untuk menangkal kejahatan. Nama Shahmaran berasal dari bahasa Persia, yang merupakan kombinasi dari kata 'shah' dan 'maran'. Yang pertama adalah gelar yang digunakan oleh raja-raja Persia, sedangkan yang kedua berarti 'ular'. Oleh karena itu, Shahmaran secara harfiah berarti 'Raja Ular'. Karena Shahmaran dikatakan perempuan, mungkin lebih tepat untuk menerjemahkan namanya menjadi Ratu Ular. Nama Shahmaran juga sedikit berubah sesuai dengan berbagai budaya di mana makhluk mitos ini ditemukan. Shahmaran terutama terkait dengan Kurdi dan Turki, keduanya mendiami wilayah Anatolia timur Turki. Budaya lain di mana legenda Shahmaran ditemukan termasuk Tatar dan Chuvash di Timur, keduanya berbicara bahasa Turki. Legenda Shahmaran adalah legenda kuno, yang asal-usulnya telah dikaburkan oleh berlalunya waktu. Kisah sentral yang terkait dengan Shahmaran melibatkan seorang pemuda bernama Tahmasp. Tokoh ini dikenal dengan beberapa nama lain, antara lain Cansab, Djansab, dan Cemshab, tergantung versi legendanya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan 68fUNK. 257 260 95 377 198 486 81 142 79